Berhenti Bekerja Purnawaktu: Simpulan Satu Tahun

Aprilia Kumala
8 min readOct 11, 2024

Catatan panjang ini sebenarnya ingin saya tulis pada tahun lalu. Namun, pada akhirnya, saya menundanya hingga lewat setahun untuk menjadikannya lebih lengkap.

Catatan ini — siapa tahu — mengingatkanmu pada seorang teman perempuan, kakak perempuan, adik perempuan, atau dirimu sendiri.

Kamu berharga. Jangan lupakan hal itu, ya!

Awal Mula

Kadang-kadang, dia menahan diri untuk tidak menulis — entah apa alasannya. Kepalanya menyimpan pikiran-pikiran yang tumbuh dengan berantakan, tetapi dia enggan membuka halaman baru di buku catatan pribadi atau blog. Satu-satunya hal yang dia perbarui hampir setiap hari adalah catatan pekerjaan lepas.

Setelah mengundurkan diri dari pekerjaan penuh waktu pada 2023 lalu, hidupnya berubah. Karena sudah terbiasa bekerja sejak 2016, dia lumayan linglung. Memang, dia pernah mengalami masa-masa tidak bekerja sebelum ini. Namun, waktunya paling lama hanya sekitar 2 bulan.

Dalam hidup, dia kerap membuat keputusan sendiri dengan gegabah: pindah jurusan kuliah, mengonfrontasi lelaki yang melecehkan seorang teman, menolak mengikuti acara family gathering, mengoreksi soal bahasa Inggris yang dibuat guru di depan kelas, dan lain-lain. Saat memutuskan berhenti bekerja — bahkan berbulan-bulan berikutnya — dia terus bertanya-tanya: Apakah ini hal yang benar?

Tahap Pertama: Menyesal

Kenapa saya harus berhenti, ya?

Pikirannya mengganggu hari-hari yang berjalan normal. Semua alasan yang sudah disusun mendadak menjadi tidak masuk akal. Waktu-waktu yang kosong terasa menyiksa dan membuatnya merasa bersalah. Alih-alih mengisi hari dengan eksperimen resep makanan, dia memilih merenung dan mengingat harapannya bertahun-tahun yang lalu: menjadi wanita karier seperti ibunya.

Tanpa pekerjaan dan pemasukan tetap, dia merasa begitu … aneh. Ada perasaan malu yang menguasai dirinya. Dia tidak lagi bisa menantikan kenaikan jabatan. Tidak ada lagi rapat pekanan. Dia tidak yakin bisa menulis karyawan swasta pada kolom pekerjaan di formulir manapun yang akan dia isi pada masa mendatang.

Rasanya — sederhana saja — seperti berhenti terlalu tiba-tiba.

Berhenti tiba-tiba (sumber: www.pixabay.com)

Tahap Kedua: Takut

Dia tidak lagi hidup sendiri. Meski belum dikaruniai anak, dia dan suaminya adalah tim yang butuh sokongan ekonomi untuk bertahan hidup.

Tidak, dia tidak meragukan suaminya — kepala keluarga yang tangguh dan bisa diandalkan. Hanya saja, pada beberapa waktu, dia menjadi begitu segan dan takut merepotkan, meski berkali-kali kekhawatirannya ditenangkan.

Ketakutan itu juga menguasainya dalam hal rumah tangga. Apakah ini berarti dia harus memasak setiap hari, padahal dia sering kali kehabisan ide masakan? Apakah dia harus menjaga rumah bersih tanpa cela, padahal dia sendiri masih sama berantakan seperti sebelumnya? Apakah dia harus bekerja sendirian memastikan rumah tertata karena — seperti anggapan sebagian orang — itu adalah tanggung jawab perempuan?

Pada suatu malam di akhir bulan — setelah waktu sudah lama berlalu sejak pengunduran diri itu — suaminya berkata, “Kita sudah dan akan terus berusaha. Namun, kita juga harus percaya bahwa Allah mengatur rezeki kita.”

Suaminya meletakkan ponsel, lalu berjalan ke arah tempat sampah di dapur. Badannya membungkuk. Dari kamar, dia mendengar suara kantong plastik diikat, lalu bergesekan dengan tepi keranjang sampah yang ringkih. Sebentar kemudian, pintu utama terbuka. Suaminya berjalan menjauh, membuang sampah yang ditenteng tangan kanan dan kiri.

Malam itu, dia tidak memasak apa pun. Suaminya tidak marah — tidak pernah marah gara-gara hal ini. Mereka bukannya tidak pernah bertengkar, tetapi jelas bahwa dia beruntung karena suaminya tidak membuatnya merasa bertanggung jawab sendirian di dalam rumah.

Biasanya, dia akan terus mencari celah untuk menjelaskan kecemasannya. Namun, hari itu, dia mengamini kata-kata dan sikap suaminya, menutup catatan pengeluaran per bulan, lalu mulai ikut bermain Nintendo dengan suami yang baru saja mencuci tangan selepas membuang sampah.

Kami adalah tim. (sumber: www.pixabay.com/Peggy_Marco)

Tahap Ketiga: Berdamai

Seperti kesialan, beberapa kesempatan juga datang tidak terduga. Setelah mulai menerima kesepakatan dari diskusi panjang mengenai perubahan rencana awal mengikuti program kehamilan (ya, ditunda — entah sampai kapan), dia mengatur rencana.

Hidup tidak berjalan otomatis seperti permainan The Sims. Dia tidak bisa membuka koran secara acak, mendapatkan informasi lowongan pekerjaan, dan berangkat bekerja 2 jam kemudian. Namun, bukan dia yang mengatur jalannya takdir, kan? Jadi, setiap kali tawaran bergabung dengan beberapa proyek datang, dia berusaha keras tidak menolaknya.

Belakangan, dia menyadari dirinya begitu mudah terdistraksi. Untuk setidaknya menjaga tubuhnya tetap berada di tempatnya saat bekerja , dia memastikan barang-barang kesukaannya ada di sana: meja kerja yang dia anggap sebagai working space pribadinya.

Dia membeli papan tik (keyboard) yang nyaman. Meja kerja yang tadinya tidak dihiasi apa pun kini sudah penuh sesak dengan barang-barang yang menyenangkan hatinya: pernak-pernik Harry Potter, komik, Kindle, aksesori Super Junior, dan lain-lain. Kartu nama baru dicetaknya dengan desain gratis di platform favorit jutaan orang. Dia meresmikan dirinya sebagai pekerja lepas.

Serabutan.

Sudut ini berantakan, tetapi bukan masalah besar baginya. (Dok. pribadi)

Tahap Keempat: (Masih) Berdamai

Waktunya begitu luang jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Dia tidak lagi mengabaikan orang tuanya saat mereka datang ke Jakarta. Sebelumnya, karena begitu tenggelam pada pekerjaan, dia hanya bisa melambaikan tangan saat ibunya dijemput pergi oleh seorang saudara. Mereka mengelilingi kota, sedangkan dia mengurung diri di kamar dengan laptop yang sudah menyala selama 3 hari.

Kini, dia tidak harus membawa laptopnya ke mana-mana. Dulu, saat pulang kampung, dia hanya akan berfokus pada laptop di atas kasur, sedangkan ibunya berulang kali memastikannya tak lupa makan. Pada acara keluarga besar, misalnya pada saat Lebaran, dia tak perlu lagi repot-repot menenteng laptop karena harus menaikkan berita secepatnya, setidaknya selama 5 kali dalam hari yang sama.

Sekarang, dia juga bisa bertemu dengan temannya kapan saja. Dulu, saat begitu hanyut pada agenda-agenda perusahaan, dia tidak bisa menghadiri acara wisuda sahabatnya, acara pembukaan kafe teman akrabnya, acara pertunangan teman dekatnya, bahkan acara duka saat seorang kawan baik kehilangan ibunya. Semuanya berlangsung di kota yang berbeda dengan kota tempatnya bekerja. Karena tidak ada cuti yang diberikan, dia tidak berani mempertaruhkan kariernya. Doa-doa dan pelukan itu hanya tersampaikan lewat kata-kata dan emoji layar ponsel.

Hingga hari ini, dia masih belum rajin memasak setiap hari. Namun setidaknya, jumlahnya sudah membaik. Saat terlalu fokus bekerja, dia bahkan lupa kalau suaminya belum makan apa pun. Perasaan bersalah itu menjalar begitu cepat, mengingat suaminyalah yang selalu paling siaga menjaga saat dia jatuh sakit dengan mendadak.

Tidak menduga bisa bepergian tanpa membawa laptop untuk bekerja (Dok. pribadi)

Tahap Kelima: Berjalan Pelan-Pelan

Lantas, apakah semuanya menjadi lebih baik?

Perasaan rindu, perasaan tidak berdaya, bahkan ketakutan itu masih kerap datang. Namun, kini dia punya banyak cara untuk menghadapinya: menerima perasaan itu datang, memakluminya, dan mencoba mendamaikan dirinya sendiri. Pada siang hari, dia bisa mengangkat telepon video dari keponakannya yang masih berusia 4 tahun. Pada siang hari yang buntu pula, dia bisa memutuskan untuk bertahan di rumah atau pergi mencari kafe yang nyaman untuk bekerja atau sekadar menikmati langit berubah jingga.

Kebebasan itu membanjirinya begitu banyak, dalam, dan luas.

Segera setelah resmi menjadi pengangguran, dia menyepakati perjanjian untuk menulis buku — bukunya sendiri. Dia tidak berani membayangkan akan ada berapa orang yang membeli bukunya kelak — mana berani berandai-andai? Pada kesempatan itu, dia hanya merasa ingin menulis. Dia ingin menjadikan buku sebagai medianya meletakkan kenangan.

Oh, dia berharap kamu juga membacanya: buku Sepasang Antagonis yang Pernah Saling Mencintai dan buku Gimana, Gemini?keduanya terbit pada tahun yang sama.

Pada banyak waktu, dia menyelami hobi-hobi yang sudah lama ditinggalkannya karena dulu tak punya waktu. Kelompok idola yang pernah menyelamatkannya lewat lagu-lagu yang memabukkan mulai dia pantau kembali. Saat anggota kesukaannya menggelar konser solo, dia membeli tiket dan datang dengan perasaan meluap-luap.

Kelas-kelas gratis bertaburan di internet, mencakup banyak bidang untuk mengembangkan diri. Dia memilih kelas daring tanpa biaya dari instansi yang pernah menjadi cita-citanya. Kelas-kelas itu, beberapa bulan kemudian, menjelma menjadi acara luring. Dia sempat ragu, tetapi pada akhirnya mengisi daftar konfirmasi kehadiran.

Seorang rekan menghubunginya suatu hari, menawarkan kesempatan mengisi acara sebagai narasumber dengan materi seputar kegiatan menulis. Tawaran ini melempar ingatannya ke 5–6 tahun yang lalu saat dirinya masih aktif menjadi redaktur di sebuah media dan telah terbiasa mengisi acara serupa. Meski menakutkan dan merasa tidak percaya diri pada awalnya, dia tetap mengiyakan, menerima tawaran itu sebagai satu lagi tantangan yang harus dia taklukkan.

Salah satu kafe nyaman yang dia sadari keberadaannya (Dok. pribadi)

Kebebasan itu membanjirinya begitu banyak, dalam, dan luas.

Pada hari-hari tertentu, dia mengambil cuti dari dirinya sendiri untuk tidak melakukan apa pun kecuali berbaring di kasur, bermain gim yang diketahuinya dari iklan di Instagram, atau sekadar memilih lagu-lagu favorit untuk dimasukkan ke dalam digital audio player yang dibelinya atas nama nostalgia.

Pada hari-hari lainnya, dia bisa membuat jadwal untuk banyak orang sekaligus: petugas yang membersihkan AC, petugas yang memperbaiki wastafel bocor, hingga penyedia jasa kebersihan rumah yang bisa dipesan melalui aplikasi. Jadwal semacam itu kadang-kadang dia padatkan dalam satu hari, termasuk kegiatan-kegiatan lain, seperti berbelanja, mengambil pakaian bersih di laundry, mengambil paket, dan memenuhi undangan rapat atau pertemuan kasual dengan klien ataupun kerabat.

Setelah semuanya selesai, dia baru bisa duduk di kursinya, memesan kopi, dan mulai berpikir untuk membuat potato wedges sendiri sebagai kudapan sore.

Ilustrasi makanan terenak sedunia (sumber: www.pixabay.com/cegoh)

Tahap Keenam: Menulis (Lagi)

Kadang-kadang, dia menahan diri untuk tidak menulis — entah apa alasannya. Namun, pada waktu-waktu tidak terduga — misalnya saat bersiap-siap mengerjakan pekerjaan lepas — otaknya berputar kencang dan tangannya sibuk mencari halaman kosong untuk menulis.

Dia masih memiliki banyak mimpi meski usianya terus bertambah setiap hari. Namun, yang membuatnya begitu bahagia belakangan ini justru menggelikan: mendengarkan puluhan — mungkin ratusan — lagu-lagu lama yang dulu sangat disukainya.

Tulisan ini — entah berapa banyak kata yang menyusunnya — pun tersusun selagi telinganya mendengarkan tanpa henti (dan berulang-ulang) lagu lama dari daftar putar yang dia buat khusus. Isinya? Lagu-lagu dari album milik Lindsay Lohan, Hilary Duff, dan Ashlee Simpson — rilis pada 2004–2005 dan menjadi salah satu media baginya mempelajari pronunciation bahasa Inggris — serta album soundtrack telenovela Amigos X Siempre dan Complices al Rescate.

Lagu-lagu itu — ajaibnya — membuatnya merasa terlindungi. Menurutku, itu karena dia sedang menjadi dirinya sendiri, tanpa repot-repot mengikuti selera musik kebanyakan orang.

Lihat saja: Dia menulis unggahan ini sambil melantunkan seluruh lagu tanpa membaca lirik. Kepalanya mengingat dengan baik .

Ingatan anak kecil berusia 12 tahun di dalam dirinya itu ternyata lumayan juga.

--

--

Aprilia Kumala

Editor paruh waktu, pencinta Harry Potter penuh waktu | Penulis dengan topik manasuka ✎