Bertemu Elle Woods dan “Elle Woods”
Tiap-tiap pengalaman manusia menstimulasi pusat memori yang dimiliki tubuh masing-masing dengan cara tertentu. Namun, kenangan yang paling kuat terekam konon adalah kenangan dengan dampak emosional yang lebih besar, bahkan yang memberikan perasaan traumatis.
Saya tidak merasa film Legally Blonde (2001) membuat saya takut atau tertekan, tetapi saya selalu mengingat sebuah kejadian tidak menyenangkan setiap kali nama film itu disebut. Ingatan ini seakan-akan menjadi kenangan yang paling kuat terekam.
Film ini dibintangi oleh Reese Witherspoon sebagai Elle Woods. Saya mengingatnya sebagai karakter yang sangat girly dengan banyak aksesori berwarna pink. Elle punya banyak sekali teman karena dia adalah tipe cewek populer yang bisa merebut hati banyak orang. Elle jelas tidak sama seperti saya di sekolah, tetapi hal itulah yang membuat saya menyukainya.
Elle dicampakkan oleh pacarnya yang ingin masuk ke Harvard Law School. Bukannya sedih dan mencari cowok baru, Elle malah tertantang masuk ke sekolah tinggi yang sama.
Cerita berputar pada kehidupan akademis Elle sekaligus perjalanan cintanya yang dramatis. Namun, yang paling saya ingat adalah adegan sidang yang menempatkan Elle sebagai salah satu kuasa hukumnya.
Bagaimana saksi menyampaikan keterangan, bagaimana pengacara memberi pembelaan, atau bagaimana hakim bersikap rupanya terekam lumayan jelas di kepala saya. Maka, beberapa tahun kemudian, saat saya akhirnya duduk di kelas 9 dan mendapatkan tugas mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berupa simulasi jalannya persidangan, saya langsung membangun skenario sendiri.
Tugas ini dikerjakan secara berkelompok. Seluruh anggota saya adalah laki-laki, kecuali saya dan seorang kawan dekat perempuan. Saya membagikan pandangan saya dengan penuh semangat mengenai jalannya persidangan pura-pura yang akan kami tampilkan beberapa hari kemudian. Namun, coba tebak, bagaimana reaksi mereka — anak-anak SMP ingusan itu?
“Kamu aja yang bikin, deh, Li. Kamu, kan, pinter.”
Apakah saya marah? Oh, tunggu dulu. Tentu saja saya geram karena tidak ada satu orang pun yang terketuk hatinya untuk bekerja (semuanya sibuk dengan ponsel atau mengobrol), tetapi saya juga merasa gembira karena punya kesempatan bebas merancang skenario persidangan.
Saya membayangkan Elle Woods ada di sana — di persidangan yang saya rencanakan. Jaksa, hakim, saksi, pengacara, hingga korban dan terdakwa pun tergambar dengan jelas. Semua anggota kebagian peran. Saya meminta mereka berlatih tiga kali sebelum kami pulang ke rumah masing-masing usai kerja kelompok sore itu.
Saya tidak bisa tidur nyenyak pada hari menjelang penilaian. Terlalu gembira, saya rasa. Saya baru saja mulai tertidur waktu tiba-tiba — pada dini hari — telepon rumah kami berbunyi. Beberapa menit kemudian, saya mendengar Ibu menangis.
Kakek saya, saat itu, baru saja meninggal dunia.
Kami sekeluarga langsung bersiap-siap pergi ke rumah Kakek. Surat izin untuk wali kelas saya dan kakak dibuat dengan segera, dititipkan secara mendadak kepada tetangga yang juga teman sekolah kami. Hari itu, hati saya rasanya hancur.
Semua orang dewasa di keluarga besar menangis. Saya mungkin masih berusia 13 atau 14 tahun, tetapi saya tidak bisa membiarkan diri ikut menangis. Adik-adik sepupu yang masih kecil seluruhnya dititipkan pada saya selagi orang tua kami mengurus jenazah.
“Mbak Lia, kita ikut enggak ke makam?” salah seorang adik bertanya saat kami berkumpul di kamar seorang paman yang kosong sedari pagi.
“Kita di sini aja, ya. Main di sini.”
Adik-adik saya mengangguk-angguk setuju, lalu melanjutkan permainan yang sedang mereka mainkan. Saya lupa apa yang kami lakukan, tetapi mereka tertawa. Hati saya kian sakit hari itu: Di luar, orang dewasa menangis. Di dalam sini, anak-anak kecil tertawa, mungkin berpikir Kakek cuma sedang tidur karena sakit. Saya ingin sekali menangis, tetapi pasti aneh rasanya kalau menangis di depan anak-anak SD dan TK.
Sepanjang menunggu orang-orang dewasa kembali dari makam, saya bertanya-tanya apakah Kakek akan merindukan saya di surga. Saya juga bertanya-tanya apakah Kakek akan marah kalau saya sedikit menyesal tidak bisa masuk sekolah untuk melakukan penilaian skenario persidangan ala Elle Woods yang sudah saya buat. Saya kehilangan seluruhnya hari itu: berperan sebagai Elle Woods sekaligus sosok seorang kakek.
Besoknya, saya berangkat sekolah dengan luka yang masih basah. Sialnya, hal pertama yang saya dapatkan setelah sampai di kelas adalah teguran.
“Lia! Duh, kamu kemarin enggak masuk, sih! Aku jadi repot, tau, harus main peran dobel: peranku sama peranmu!” semprot kawan dekat saya yang berada dalam satu kelompok PPKn yang sama.
Sebelum saya bisa menjawab, dia berkata lagi, “Enak banget, kamu. Udah enggak masuk, eh, nilainya disamain lagi sama kita yang kemarin maju!”
Saya masih mencoba mencerna kata-katanya. Dia terus bicara,
“Kemarin, tuh, kita dapat nilai paling tinggi. Terus, karena kamu enggak masuk, nilaimu disamain, deh, sama kita. Padahal, yang maju, kan, kita! Kamu enak banget!”
Saya bengong. Nada tidak suka dari caranya bicara begitu jelas terdengar sampai saya tak bisa menjawab apa-apa.
Kejadian itu mengejutkan karena terjadi begitu cepat. Setelahnya, beberapa teman lain yang juga masih satu kelompok datang dan menyapa saya. Kebanyakan dari mereka mengucapkan terima kasih karena saya sudah membuat skenario persidangan yang memukau guru sehingga kami bisa mendapat nilai tinggi.
Namun, perkataan kawan dekat saya tadi sudah keburu membekas.
Saya menenangkan diri dengan keluar kelas. Sebelum bel masuk berbunyi, sepertinya tidak ada salahnya menikmati angin di depan pintu. Toh, saya baru dimarahi juga di dalam kelas hanya karena kemarin tidak masuk gara-gara Kakek meninggal.
Tanpa aba-aba — lagi-lagi — sebuah hal tidak terduga terjadi.
Seorang teman sekelas lain menghampiri saya dan berkata dengan lembut,
“Lia, kemarin kamu enggak masuk katanya karena kakekmu meninggal, ya?”
Saya mengangguk sekenanya.
“Turut berduka cita, ya, Li. Kamu yang kuat, ya.”
Tiga detik setelah saya bisa menguasai diri karena terharu dan terkejut, saya mengucapkan terima kasih.
Kami bahkan tidak terlalu akrab, tetapi dia begitu manis! Kurasa, dia lebih seperti Elle Woods versi real-life: cewek populer yang disukai semua orang. Saya? Ah, cuma cewek cupu yang mau-mau saja disuruh bekerja sendirian dalam kelompok.
Sungguh, kalimat yang diucapkan oleh teman saya ini benar-benar membuat mood saya meningkat dengan pesat. Ternyata, ada yang peduli!
Pagi itu, dengan sebuah ucapan dukacita dari seorang teman yang baik hatinya, saya jadi jauh lebih tenang. Saya bahkan tidak lagi ingin menangis.
Kepergian Kakek memang menyakitkan (saya pernah menulis khusus untuknya di tautan ini), tetapi hal itu menjadikan saya belajar satu hal:
Bersikaplah dengan penuh empati.
Saya yakin, itulah yang bakal selalu Elle Woods lakukan — baik versi film maupun real-life.