(Mantan) Power Rangers
Waktu kecil, saya dan beberapa tetangga kompleks kerap bermain bersama. Pilihan aktivitas kami beragam: bermain sebagai Power Rangers atau mengadakan kompetisi menyanyi palsu. Aktivitas pertama lebih sering kami lakukan.
Sebagai satu-satunya perempuan aktif dalam kelompok, saya punya hak penuh memilih untuk menjadi Ranger Pink ataupun Ranger Kuning. Saya tidak bisa bilang pada siapa pun bahwa saya lebih suka jadi Ranger Biru karena warna biru adalah warna kesukaan saya.
Akhirnya, dengan pertimbangan yang sama sekali tidak panjang, saya memilih warna pink. Alasannya sederhana: Biasanya, Ranger Biru dan Ranger Pink berpasangan. Jika saya tidak bisa menjadi Ranger Biru, setidaknya saya bisa menjadi lebih dekat dengan karakter yang saya mau.
Kelompok kami biasa berkumpul di salah satu rumah tetangga yang punya tanaman lidah buaya. Saya ingat betul karena itulah tanaman yang membuat saya penasaran saat itu. Apakah lidah buaya benar-benar berbentuk seperti ini? Apakah manusia memang memotong lidah buaya dan menancapkannya di tanah?
Kami sering melakukan “rapat” para ranger di depan komputer si pemilik rumah-dengan-lidah-buaya. Dia adalah orang tertua dalam kelompok sekaligus pemimpin kami. Karena dia menjadi Ranger Merah, mari, kita sebut namanya sebagai “Merah”.
Merah berkawan dekat dengan anak yang menjadi Ranger Hitam— “si Hitam”. Usia mereka hanya berbeda beberapa bulan. Sementara itu, saya lebih dekat dengan sahabat sebaya, Ranger Hijau — “si Hijau” — dan Ranger Biru — “si Biru”.
Suatu hari, Merah mengumumkan bahwa dirinya akan membuatkan kami kostum Power Rangers. Meskipun kami hanya berlima dan tidak punya Ranger Kuning, itu bukan masalah. Merah bilang, nanti kami juga akan belajar pencak silat bersama. Saat itu, tak terlintas di kepala saya untuk bertanya apa hubungan antara Power Rangers dan pencak silat.
Namun, sebelum mimpi itu tercapai, Merah dan Hitam melemparkan candaan kepada Biru — teman terdekat saya. Saya yakin, candaan itu dilontarkan tanpa tendensi yang buruk karena kami sudah berteman sejak lama. Namun, candaan itu membuat Biru terdiam dan minta izin pulang duluan.
Merah dan Hitam, bahkan Hijau, masih terkekeh-kekeh. Saya memandang mereka dengan kesal. Rasanya, saya ingin menarik kursi tempat mereka duduk, tetapi saya ingat bahwa pekan lalu saya sudah melakukannya pada si Merah. Saya tidak berniat menambah dosa lagi.
Jadi, sore itu, saya mengikuti Biru dengan memasang muka muram.
“Kita harus keluar dari Power Rangers,” kata saya sungguh-sungguh. Biru masih bermuka sedih. Dia menatap kosong dan menjawab, “Kalau kamu masih mau jadi Power Rangers, enggak apa-apa, kok. Kayak si Hijau.”
“Enggak!” jawab saya yakin. Saya masuk sebentar ke dalam rumah, lalu kembali duduk di sebelah Biru di teras.
“Ayo, kita tulis surat dan bilang kita mau berhenti.”
“Berhenti jadi Power Rangers?”
“Iya, aku pernah lihat sinetron yang tokohnya pergi dari rumah. Dia nulis surat untuk bapaknya; surat keterangan untuk pergi. Nah, kita buat gituan sekarang,” kata saya lagi, “nanti di dalamnya kita bilang kalau kita enggak suka sama mereka.”
Biru diam saja. Alisnya masih turun ke bawah. Wajahnya mengisyaratkan keinginan untuk menangis.
Saya menulis di atas kertas. Jangan tanya apa yang saya tulis — saya tidak ingat lagi. Yang saya ingat, saya melipat kertas itu dan segera memberikannya pada Merah.
“Kita sudah bukan anggota Power Rangers lagi.”
Biru menatap saya setelah saya keluar dari rumah si Merah. Dia tidak mengucapkan apa pun sebagai jawaban, tidak juga langsung tersenyum. Kami langsung mengambil sepeda dan memutuskan berkeliling kompleks. Biru mengayuh lebih cepat dari biasanya.
“Pulang, yuk,” katanya — setelah tiga kali kami berputar di gang yang sama. Wajahnya lumayan berseri-seri. Ternyata, melepas tanggung jawab sebagai ranger bisa membuat seseorang terlihat begitu lega.
Setelah hari itu, kami tidak lagi menyebut kata “Power Rangers”. Kami memang pernah berharap ingin punya seragam Power Rangers sungguhan, tetapi kami memutuskan untuk melupakannya.
Saya dan Biru meneruskan hidup kami masing-masing, sampai kami berusia lebih dewasa — sampai tiba pada hari kepindahan saya ke rumah dinas orang tua.
Pada hari terakhir saya di kompleks, Biru duduk sendirian di depan rumahnya. Saya melihatnya sekali dari balik jendela, tetapi saya tidak berpamitan dengannya.
Saya tidak bisa “menulis surat keterangan pergi” untuknya.
Saya rasa, begitulah pertemanan masa kecil pada akhirnya berjalan. Kamu mungkin bisa mempertahankannya, tetapi kamu juga bisa menjaganya hanya dari jauh — lewat doa.
Yah, bukankah begitu cara saudara saling menjaga?