Sapaan yang Datang Tiba-Tiba

Aprilia Kumala
4 min readSep 11, 2024

Ojek daring pesanan saya datang. Sebelum menghampiri saya, Pak Sopir menyapa tukang parkir yang berjaga. Saat itu, saya memang menunggu di tempat parkir pinggir jalan.

Duluan, ya!” seru Pak Sopir kembali pada tukang parkir. Tampaknya mereka sudah kenal karena saling memanggil nama.

Di sepanjang perjalanan, adegan yang mirip terulang tiga kali. Pak Sopir menyapa kawannya dengan ceria: seorang tukang parkir di warung sate dan dua pengendara ojek daring lainnya. Saya takjub dengan keriangan yang ditunjukkannya. Saya yakin, Pak Sopir adalah tipe orang yang temannya ada di mana-mana.

Pikiran saya melayang ke kejadian bertahun-tahun lalu. Di Cilacap, kota kelahiran saya, beberapa teman pernah mengajak bertemu di sebuah warung makan.

Kami berjumlah 5–6 orang sehingga perlu area lesehan yang luas di sebuah saung. Di kanan dan kiri kami, saung-saung lain diisi pengunjung yang baru tiba. Tidak ada yang aneh dari agenda makan siang kala itu.

Pesanan kami tiba dengan cepat. Selagi makanan ditata, kami bergantian mencuci tangan di keran dekat saung. Saat giliran saya tiba, seorang anak kecil dari saung seberang tampak asyik bermain-main dengan ayahnya. Saya melihatnya sebentar dan tersenyum tipis karena tingkah si anak yang lucu.

Saya membuka keran. Air keluar dengan kencang. Ayah si anak tadi berdeham dan berkata, “Enggak sama Bapak, Dek?”

Saya terkejut, lalu melihat ke arah pria itu. Benar, dia bicara pada saya! Siapa? Saya bertanya-tanya.

Eh … eng-enggak …,” jawab saya, kikuk. Di dalam hati, saya berpikir bahwa pria itu salah orang. Namun, saat saya membilas sabun di tangan, dia berkata lagi, “Anaknya Pak X, kan? Lia, kan? Salam, ya, buat Bapak. Ini Om Y, Li!”

Pak X yang dimaksud adalah ayah saya. Saya sontak memandang si bapak tadi. Anaknya kini sedang disuapi makanan. Dia bahkan tahu nama saya!

“Be-betul, Om,” jawab saya lagi, kali ini dengan sebutan om agar lebih sopan. Meski kaget, sebenarnya ini bukan kejadian yang pertama. Saya sampai bosan melapor hal yang sama pada Ayah!

Sumber: pixabay.com/niekverlaan

Ingatan saya berjalan ke lokasi yang berbeda: Yogyakarta. Saya berkuliah di sana dan kerap mendatangi beberapa acara. Suatu hari, saya dan seorang teman — Kenanga — bermaksud mengikuti sebuah pameran dari sejumlah kampus Eropa.

Acara tersebut digelar di sebuah hotel. Perasaan saya agak berbeda begitu kami masuk ke hotel: Ada banyak pria dewasa di sana!

“Kenapa isinya bapak-bapak semua?” tanya Kenanga, berbisik. Saya memandangi seluruh sudut hotel sampai menemukan papan bertuliskan: Meeting PT ABCDE.

“Itu,” tunjuk saya, “kayaknya lagi ada acara dari PT ABCDE.” Kenanga mengangguk-angguk, lalu balas bertanya, “Ayahmu, kan, kerja di PT ABCDE. Ada di sini, dong?”

Saya menggeleng. Ayah tidak memberi info apa-apa, jadi sudah pasti dia tidak datang. Lagi pula, PT ABCDE memiliki beberapa unit pengolahan di berbagai kota di Indonesia.

“Dari muka-mukanya, sih, saya enggak familier, ya. Kayaknya bukan dari Cilacap,” tambah saya. Duh, sotoy abis.

Kenanga mengangguk-angguk lagi. Kami bergegas ke lantai atas, ke tempat pameran berlangsung.

Singkat cerita, kami memutuskan pulang karena lapar. Dengan segera, kami bergegas ke lift untuk turun ke tempat parkir di rubanah. Kami berniat pergi ke warung makan langganan tak jauh dari sana.

Lift saat itu penuh sekali. Selain kami, penumpang lift adalah serombongan pria yang semuanya mengenakan kemeja formal.

Saya memainkan ponsel saat masuk lift. Kenanga — berdiri di dekat pintu lift — langsung menekan tombol ke rubanah tempat parkir motor. Saat itulah, saya mendengar seorang bapak berkata, “Eh, ini liftnya ke bawah dulu, ya?”

Seorang bapak lain menyahut cepat, “Enggak apa-apa, Pak. Biar kita enggak dimarahin Pak X. Hehehe.”

Saya langsung menurunkan ponsel, kaget. Saking terkejutnya, saya tidak bisa bereaksi apa-apa.

“Oh, ini anaknya Pak X, ya?”

“Iya, ini Mbaknya anak Pak X.”

“Oh, iya, ya sudah. Enggak apa-apa kita ke bawah dulu. Hahaha.”

Ting! Pintu lift terbuka. Kenanga keluar dan berkata, “Terima kasih.” Saya mengangguk tanda pamit pada bapak-bapak di dalam lift. Saya tidak yakin apakah “Terima kasih, Om” yang saya ucapkan dapat terdengar dengan baik.

“Pak X itu bapakmu, kan, Li?” tanya Kenanga.

Saya mengangguk, masih kaget. Saya pikir kejadian-kejadian semacam itu hanya akan terjadi di Cilacap. Saya tidak menyangka kemungkinannya bisa muncul — meskipun kecil dan jarang — di kota lain.

Ponsel saya berbunyi; ayah saya menelepon. Suaranya renyah seperti habis tertawa. Lewat obrolan singkat, Ayah bertanya, “Tadi ketemu teman Ayah, ya, di lift?”

Ah, kejadian-kejadian semacam itu memang terjadi beberapa kali, tetapi saya tidak pernah tidak terkejut. Saya rasa, kejadian-kejadian itulah yang pada akhirnya — mau tidak mau — membuat saya berusaha menjaga sikap di tempat umum.

Maksud saya, enggak lucu, kan, kalau saya mendadak kayang sambil teriak-teriak heboh kalau ujung-ujungnya saya didatangi seseorang yang berkata, “Eh, anaknya Pak X, nih!”???!!!

“Mau turun di sini atau ke dalam, Neng?” tanya Pak Sopir, membuyarkan lamunan saya di atas motor. Rupanya, kami sudah sampai di tujuan. Saya pun memintanya berhenti di gerbang agar saya bisa berjalan kaki ke tower tempat saya tinggal.

“Terima kasih, Pak.”

“Sama-sama, Neng,” kata Pak Sopir yang segera putar balik, menyapa penjual gado-gado, lalu masuk ke jalan raya.

Saya mulai berjalan kaki, berpikir akan menelepon Ayah nanti malam. Padanya, saya akan bilang bahwa selama tinggal di Jakarta, saya belum bertemu satu pun kawannya.

--

--

Aprilia Kumala

Editor paruh waktu, pencinta Harry Potter penuh waktu | Penulis dengan topik manasuka ✎