Surat yang Ditulis Tangan
Saya menulis kalau terlalu marah. Bukan melalui pesan pendek di WhatsApp, melainkan dengan pena dan kertas. Saya pernah menulis untuk suami saya satu kali, saat usia pernikahan kami belum dua tahun. Dalam hubungan yang “memaksa” kami untuk saling memaklumi, tentu ada banyak perdebatan. Pada satu hari di antaranya, saya terdorong cukup keras untuk menumpahkan perasaan kepadanya melalui tulisan, bukan lisan.
Saya lebih suka menulis daripada bicara. Pada sebuah hubungan di masa lalu, saya pernah meninggalkan setumpuk surat untuk seseorang saat saya harus pergi ke luar negeri. Jumlahnya ada sembilan pucuk surat, tepat sebanyak hari saya pergi. Jika kamu menebak-nebak: Benar — saya terinspirasi dari film Kuch Kuch Hota Hai. Sebelum meninggal dunia, Tina meninggalkan surat untuk anaknya, Anjali, untuk dibaca setiap kali Anjali berulang tahun.
Omong-omong soal ulang tahun, tahun ini saya mendapatkan surat. Ditulis tangan.
Pelakunya, tak begitu mengejutkan, adalah nenek saya — Mbah Putri.
Surat diantar oleh paman saya beserta semangkuk besar rica-rica buatan Mbah. Saat itu sebenarnya kami masih berada dalam satu kota, tetapi saya memang sudah akan merantau lagi ke Jakarta.
Surat Mbah terasa begitu berbeda dengan surat-surat lain yang pernah saya tulis. Di sana tidak ada kata-kata sok romantis, seperti, “I love you,” atau kata-kata ngambek sok imut, misalnya, “Kok, udah mau pulang, sih? Mbah kangen, tau!” Isi surat Mbah seperti bersuara. Saat dibaca, seolah-olah Mbah membisikkannya tepat di telinga. Doa yang ditulis juga sama seperti biasa: kelancaran urusan, rezeki, dan — tentu saja — momongan.
Surat Mbah, tanpa disadari, membangkitkan banyak memori di kepala saya. Waktu kecil, saya suka menginap di rumah Mbah hanya karena Mbah akan selalu menceritakan dongeng sebelum tidur. Saya samar-samar masih mengingat dongeng buatan Mbah soal angsa-angsa yang tersesat di hutan.
Saya tidak tahu apa yang terjadi pada angsa-angsa itu kemudian, tetapi saya tahu pasti apa yang terjadi pada diri saya. Dengan segera, saya bagai terobsesi dengan cerita. Saya membaca banyak buku dongeng dan meniru apa yang Mbah lakukan pada saya setelah adik saya lahir: Saya selalu mendongenginya sebelum tidur.
Saya merasa surat dari Mbah berarti lebih dari sekadar doa. Mbah mengajarkan, secara tidak langsung, imajinasi itu indah dan patut diasah, tetapi kemampuan menulis tak boleh dilupakan. Mbah mempunyai akun WhatsApp (WA), tapi pilihannya untuk tetap menulis surat menghadirkan nilai sentimental. Saya tergugah untuk tidak berhenti menulis walaupun terseok-seok karena fokus saya mudah sekali terpecah belakangan ini.
Tanggal 5 lalu, Mbah berulang tahun. Saya mengiriminya pesan pendek di WA, memberinya ucapan dan doa, lalu mengakhirinya dengan ucapan terima kasih.
“Makasih, ya, Mbah, dulu suka dongengin Lia. Lia jadi suka nulis.”
Mbah membalas dengan manis, “Wah, Mbak Lia jadi penulis, kan, modalnya bukan dongengan Mbah. Yang penting, semoga bermanfaat dalam karier, ya.”
“Lia dulu suka nulis cerita gara-gara dongeng Mbah banyak, lo” jawabku, terkekeh.
Mbah menjawab dengan emot tertawa. Katanya, “Ya juga, ya.”
Saat menulis cerita ini, saya menyadari satu hal. Hubungan saya dan Mbah sudah berjalan seumur hidup (tentu saja), tetapi tak banyak saya abadikan. Mulai hari ini, mungkin, sesekali akan saya tulis lebih banyak cerita tentang orang yang paling berjasa pada minat saya akan kepenulisan itu.